Oleh Chandra Kurniawan
Orang-orang salaf pada zaman dulu,
jika
mempunyai anak, mereka mengajari anak-anak mereka dengan menghafal
Al-Quran dan
mendengarkan hadits. Jadilah iman anak-anak itu kokoh dan kuat. Akan
tetapi,
kini manusia tidak lagi demikian. Anak-anaknya banyaknya disibukkan
dengan
ilmu-ilmu orang kuno dan menjauhi hadits Rasulullah. (Imam Ibnu Al-Jauzy)
Bila kita melihat adik-adik kecil kita
yang masih
bersekolah di TK sampai Sekolah Dasar, mereka disibukkan dengan
pelajaran-pelajaran yang berbau Logis-Matematis-Linguistik. Mereka
dituntut
untuk pandai berhitung dan membaca. Seolah-olah keduanya menjadi
kewajiban yang
harus diraih terlebih dahulu agar sang anak memperoleh kesuksesan dan
kebahagiaan di dunia. Karena sudah di mindset seperti ini, orangtua pun
menyalahkan anaknya yang nilai Logis-Matematis-Linguistiknya jelek.
Mungkin akan ada yang bertanya, apakah
tidak
boleh mempelajari pelajaran Logis-Matematis-Linguistik? Tentu saja
boleh. Hanya
saja seharusnya orangtua lebih mengarahkan dan memprioritaskan anak-anak
mereka
dengan pelajaran-pelajaran dasar keimanan dan keislaman, seperti membaca
dan
menghafal Al-Quran dan Al-Hadits.
Mengapa harus membaca dan menghafal
Al-Quran dan
Al-Hadits? Bila mempelajari Al-Quran dan Al-Hadits di saat kecil, kita
akan
lebih mudah menghafalnya dibanding ketika kita sudah dewasa dan tua.
Karena
masa anak-anak tidak disibukkan dengan mencari nafkah dan
pekerjaan-pekerjaan
berat lainnya seperti yang dilakukan orangtua mereka.
Kedua, Al-Quran adalah petunjuk hidup
orang-orang
beriman yang mengantarkannya kepada jalan keselamatan dan kebahagiaan di
dunia
dan akhirat. Bila kita sudah mampu membaca dan menghafalnya, berarti
kita sudah
mampu melangkah pada tahap berikutnya, yaitu memilah-milah mana yang
baik dan
mana yang buruk untuk kita. Syaikh Muhammad Khair Ramadhan dalam bukunya
?"Petuah-Petuah
Luqmanul Hakim" mengatakan bahwa salah satu pintu meraih hikmah
adalah dengan menghafal Al-Qur'an. Karena hanya dengan menghafalnya,
kita akan
selalu diingatkan dengan apa yang kita hafal itu. Misalnya, ketika
sehabis
shalat kemudian ada keinginan berbuat maksiat, sebuah ayat Al-Quran
mengingatkannya, "Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji
dan
mungkar." (QS. Al-Ankabut: 45) Lalu dia menyadari akibat yang akan
ditimbulkannya bila dia melakukan kemaksiatan itu. Kemudian dia menjauhi
kemaksiatan itu.
Atau ketika hati sedang gelisah, kita
teringat
dengan ayat, "(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
manjadi
tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah
hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28) Maka, kita pun mulai
mengingat Allah.
Atau ketika mulai timbul malas dalam
belajar,
kita diingatkan oleh kisah tentang Thalut, "Nabi mereka mengatakan
kepada mereka: 'Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi
rajamu'.
Mereka menjawab: 'Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih
berhak
mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi
kekayaan
yang cukup banyak?' Nabi (mereka) berkata: 'Sesungguhnya Allah telah
memilih
rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa'.
Allah
memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah
Maha Luas
pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.' (QS. Al-Baqarah: 247)
Ternyata
untuk menjadi seorang pemimpin harus rajin belajar dan berolahraga.
Dan seterusnya. Ayat-ayat Allah datang
mengingatkan kita. Begitupun bila kita malas beramal saleh, maka Allah
memberikan kabar gembira kepada kita dengan surga dan
kenikmatan-kenikmatan
lainnya apabila kita rajin beramal. Kemudian tumbuhlah semangat kita
dalam
beramal. Imam Syafi'i pernah berkata, 'Ilmu mendorong kita beramal'.
Rasulullah Saw. bersabda, "Didiklah
anak-anakmu dengan tiga hal: mencintai Nabimu, mencintai keluarganya dan
membaca Al-Quran. Sebab, orang-orang yang ahli Al-Quran itu berada dalam
lindungan singgasana Allah pada hari tidak ada perlindungan selain
daripada
perlindungan-Nya beserta para Nabi dan orang-orang yang disucikan-Nya." (HR.
Thabrani)
Dr. Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan
kandungan
hadits ini dalam buku Tarbiyatul Aulad fil Islam jilid 1,
"Rahasianya adalah agar anak-anak mampu meneladani perjalanan hidup
orang-orang terdahulu, baik mengenai gerakan, kepahlawanan maupun jihad
mereka;
agar mereka juga memiliki keterkaitan sejarah, baik perasaan maupun
kejayaannya; dan juga agar mereka terikat dengan Al-Quran baik semangat,
metode
maupun bacaannya."
Salah seorang sahabat Nabi yang bernama
Sa'ad bin
Abi Waqqash juga berkata, "Kami mengajar anak-anak kami tentang
peperangan
Rasulullah Saw. sebagaimana kami mengajarkan surah Al-Quran kepada
mereka."
Filsuf muslim kenamaan, Imam Al-Ghazali
di dalam
kitabnya, Ihya Ulumuddin, memberikan wasiat sebagai berikut,
"Dengan mengajarkan Al-Quran Al-Karim kepada anak-anak, hadits-hadits,
hikayat orang-orang baik, kemudian beberapa hukum agama."
Sejarawan terkemuka, Imam Ibnu Khaldun,
di dalam Muqadimah-nya,
mengisyaratkan akan pentingnya mengajarkan dan menghafalkan Al-Quran
kepada
anak-anak. Ia juga menjelaskan bahwa pengajaran Al-Quran merupakan dasar
bagi
seluruh kurikulum sekolah di berbagai dunia Islam. Sebab, Al-Quran
merupakan
salah satu syiar agama yang dapat menguatkan akidah dan keimanan.
Ahli kedokteran muslim terkemuka, Ibnu
Sina,
dalam buku As-Siyasah memberikan nasihat agar seorang anak
sejak kecil
sudah mulai diajari Al-Quran. Hal ini dimaksudkan agar ia mampu menyerap
bahasa
Al-Quran serta tertanam dalam hati mereka ajaran-ajaran tentang
keimanan.
Lihatlah, mereka merasa bangga anak-anak
mereka
mampu menguasai Al-Quran dan Al-Hadits. Tapi, sekarang, banyak orangtua
yang
merasa malu bila anak-anak mereka lebih memilih belajar ilmu Al-Quran
dan
Al-Hadits di Pesantren atau sekolah-sekolah Islam.
Tidaklah mengherankan bila generasi
Islam saat
ini selain tidak mengenal agamanya, tidak pula meraih kemajuan dan
kejayaan
yang mereka impi-impikan. Sedangkan generasi di masa keemasan Islam,
mereka
dapat meraih kemajuan baik di bidang duniawi maupun ukhrowi. Karena
mereka dekat
dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Orangtua di masa itu mengantarkan
anak-anaknya
untuk mempelajari Al-Quran dan As-Sunnah. Setelah basic mereka cukup
kuat dan
kemampuan dasar mereka terpenuhi, para orangtua itu membebaskan
anak-anaknya
untuk mempelajari ilmu pengetahuan lainnya yang bermanfaat. Justru
dengan
Al-Quran dan As-Sunnah itu semakin mendorong mereka untuk lebih tekun
mempelajari ilmu pengetahuan. Tidaklah mengherankan bila banyak kita
temukan
para ilmuwan muslim menguasai beragam ilmu pengetahuan mulai dari ilmu
agama,
ilmu sastra, ilmu sosial hingga eksak.
Oleh karena itu, masa keemasan Islam
tidak bisa
dilepaskan dari pendidikan Al-Quran dan As-Sunnah. Sebagaimana hasil
penelitian
Dr. Osman Bakar -- filsuf dan ilmuwan Malaysia -- dalam bukunya yang
berjudul Tauhid
dan Sains, "Tak
diragukan bahwa, secara relijius dan historis, asal-usul dan
perkembangan
semangat ilmiah dalam Islam berbeda dari asal-usul dan perkembangan hal
yang
sama di Barat. Tak ada yang lebih baik dalam mengilustrasikan sumber
relijius semangat ilmiah dalam Islam ini daripada fakta
bahwa semangat ini pertama kali terlihat dalam ilmu-ilmu agama."
dikutip dari blog penerbit jabal Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar